Kesebelas, Ummu ‘Athiyah berkata:
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ
الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ
وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا
صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan
wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah
kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat
shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang
wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?”
Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai
wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita
sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan
wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang
diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri.
(Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keduabelas, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ
بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ
الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh
mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka
ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka
karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan
teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu.
(Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman
ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke
masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan
sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi
wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ
بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ
أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak
akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya:
“Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab:
“Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi:
“Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab:
“Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh
melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan
hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya
telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan
tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan
wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya
bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen)
salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia
tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keenam belas, ‘Aisyah berkata:
كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا
سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا
جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami
(para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami
menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah
melewati kami, kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan
sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib
membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan
kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban
menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban
ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan belas, ‘Aisyah berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ
الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang
pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 59), mereka
merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ
يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ
نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي
صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari
penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab.
‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku
memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku
agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”
Kedua puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ
الْمَوْتُ
“Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki
Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk
menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami
adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka
menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi
tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ
الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ
فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي
بِجِلْبَابِي
“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum
diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna
lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan
jilbabku.” (HR. Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka
hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah
hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh tiga, Aisyah berkata:
خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ
حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا
تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ
يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ
تَخْرُجِينَ
“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk
menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat
lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar
bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata:
“Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami,
perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim)
Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).
Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang
kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali
jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di
hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup
wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang
ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi
wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu
dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita;
dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:
- Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
- Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
- Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Ringkasan Dalil-Dalil di Atas
Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika
disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa
point:
- Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
- Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
- Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
- Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
- Ijma yang mereka nukilkan.
- Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.
- Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.
Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar
Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah:
Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim
Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para
ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama
yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita
sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
Dipublikasikan kembali oleh www.muslimah.or.id
Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
Dipublikasikan kembali oleh www.muslimah.or.id
Posting Komentar